Al-Wala’ secara bahasa berasal dari kata kerja وَالَى- يُوَالِيْ- مُوَالاَةً وَوَلاَءً di dalam kamus Lisanul Arob, Ibnul ‘Arobi berkata, “Ada dua orang yang bertengkar kemudian datang orang ketiga untuk mendamaikan keduanya, namun si penengah ini mempunyai kecenderungan kepada salah satunya, lalu dia membela dan pilih kasih terhadapnya.” Secara istilah Al-Wala’ adalah kecintaan seorang hamba kepada Robb-nya dan nabi-Nya dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dan mencintai para wali-Nya dari orang-orang yang beriman.
Adapun Al-Baro’ secara bahasa berasal dari kata baro-a بَرَئَ berarti memutuskan atau memotong, yang dimaksud disini adalah memutuskan hubungan dengan orang-orang kafir, dengan demikian dia tidak mencintai mereka, tidak tolong-menolong dengan mereka dan tidak tinggal di negara mereka. Ibnul Arobi berkata, “Baro’ berarti jika dia melepaskan diri, dan bari-a berarti jika dia menjauhkan diri, dan juga berarti memberikan alasan dan peringatan.” Secara istilah adalah menjauhkan, membebaskan diri dan mengumumkan permusuhan setelah memberikan alasan dan peringatan.
Kedudukan Al-Wala’ dan Al-Baro’ dalam Islam
Akidah Al-Wala’ dan Al-Baro’ merupakan salah satu konsekuensi dari tauhid. Seseorang yang mentauhidkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya mencintai dan loyal kepada orang-orang yang memusuhi Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah saudaranya yang paling dekat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (kekasih) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 23)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk berteman karena Alloh, cinta karena Alloh, memusuhi karena Alloh dan benci karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, dia berteman dengan wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala (orang-orang yang beriman), dan mencintainya serta memusuhi musuh-musuh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, melepaskan diri dari mereka, dan membencinya.
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عَرَى اْلِإيْمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالمْعُاَدَةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فَي اللهِ وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Pengikat iman yang paling kuat adalah setia karena Alloh, memusuhi karena Alloh, cinta karena Alloh dan benci karena Alloh.” (HR. Ath-Thobroni dalam Mu’jamul Kabir)
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa wala’ berasas pada cinta, pertolongan, dan mengikuti. Barang siapa cinta karena Alloh dan benci karena Alloh, berkawan dan bermusuhan karena Alloh maka dialah wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Siapa yang mencintai dan benci karena Alloh, berteman dan memusuhi karena Alloh, sesungguhnya pertolongan Alloh itu diperoleh dengan demikian itu. Seorang hamba tidak akan bisa merasakan kenikmatan iman walaupun banyak melakukan sholat dan puasa sampai dirinya berbuat demikian itu. Sungguh, kebanyakan persahabatan seseorang itu hanya dilandaskan karena kepentingan dunia. Persahabat seperti itu tidaklah bermanfaat bagi mereka.” (HR. Ibnu Jarir)
Penerapan yang benar akidah Al-Wala’ dan Al-Baro’
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada ummatnya untuk bersikap adil dan pertengahan dalam segala hal antara sikap berlebihan (ghuluw) dan sikap meremehkan, termasuk dalam penerapan prinsip akidah Al-Wala’ dan Al-Baro’ ini. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqoroh: 143)
Diantara bukti bahwa Islam adalah agama pertengahan dalam menerapkan prinsip ini adalah:
Pertama; Islam memperhatikan hak terhadap kerabat meskipun ia kafir
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan jika keduanya (orangtua) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Seseorang yang dipaksa orang tuanya untuk melakukan kesyirikan, namun Islam tetap memerintahkan untuk berbuat baik kepada keduanya.
Kedua; Islam menganjurkan untuk berbuat baik kepada tetangga sekalipun ia kafir
Mujahid berkata, ‘Saya pernah berada di sisi Abdulloh bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, “Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata, “(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Alloh memperbaiki kondisimu.” Abdulloh bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
“Saya mendengar Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” (Al-Irwa’ Al-ghalil, no 891)
Ketiga; Islam menjaga perjanjian yang ditetapkan dengan orang-orang kafir, selama mereka tetap menjaganya
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, ”Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4)
Inilah beberapa contoh tentang bagaimana Islam menyuruh untuk berbuat baik (ihsan) kepada orang-orang kafir. Namun, dalam penerapan Al-Wala’ dan Al-Baro’, maka konteksnya berbeda.
Orang-orang yang tidak faham prinsip akidah Al-Wala’ dan Al-Baro’ ini dengan benar, mereka akan menolaknya, bahkan cenderung meremehkannya dengan dalih menjaga persatuan, toleransi, dan kebersamaan umat dan sebagainya. Yang lebih miris lagi, mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang intoleran, tidak menghormati agama lain, atau mengajarkan permusuhan dan kebencian terhadap agama non-muslim dan para pemeluknya. Semua ini tidak lain adalah karena ketidak tahuan kaum muslimin terhadap akidah yang satu ini.
Lihatlah bagaimana mereka menyerukan untuk menghadiri perayaan hari besar keagamaan orang kafir, atau turut serta membantu penyelenggaraan perayaan tersebut, atau mengucapkan selamat atas perayaan hari besar keagamaan mereka. Mereka berdalih bahwa mengucapkan selamat Natal dan mengucapkan selamat terhadap perayaan agama tertentu selain Islam hanyalah ucapan ringan di mulut yang tidak memiliki konsekuensi apa-apa selama yang mengucapkan selamat tersebut tidak pindah agama, lantas untuk apa dilarang?
Inilah ucapan-ucapan bathil mereka, padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan orang-orang beriman dalam sebuah ayat,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri “az-zuur”, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqon: 72)
Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa di antara makna “az-zuur” dalam ayat di atas adalah hari-hari besar orang-orang musyrik, sebagaimana penjelasan Abul ‘Aliyah, Thawus, Ibnu Sirin, Adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas dan selain mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/118)
Ketahuilah bahwa perkara yang remeh bisa menjadi perkara yang besar jika kita tidak mengetahuinya. Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan yang ringan, namun menjadi masalah yang berat dalam hal akidah. Terlebih lagi, jika ada di antara kaum muslimin yang membantu perayaan agama non-Islam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Semoga kaum muslimin diberi taufik oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Alloh-lah yang dapat memberi taufik.