Fiqih Ringkas Qurban (Bagian 01)
Qurban merupakan ibadah yang diperintahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang keutamaannya sangat besar sebagaimana diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa ia berkata, ‘Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكاَنٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh seorang anak Adam yang lebih dicintai Alloh dari pada menumpahkan darah (qurban), sesungguhnya ia akan datang dengan tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya darah akan diletakkan Alloh di suatu tempat sebelum jatuh ke bumi. Berbahagialah jiwa dengan qurbannya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad shohih)
Perintah berqurban ini telah disampaikan dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam surat yang berbeda-beda. Salah satu ayat yang menyampaikan pesan kepada umat Islam untuk berqurban adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Maka dirikanlah salat karena Robbmu dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Pengertian Qurban
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab (قربان) yang artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Alloh. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha.
Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari raya haji (Idul Adha), yaitu tanggal 10, hari Tasyrik (11, 12 dan 13) Dzulhijjah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan syarat-syarat tertentu. (Syarh Minhaj)
Hukum Qurban
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum Qurban ini. Jumhur (mayoritas) Ulama, diantaranya adalah madzhab Imam Malik, Imam Asy-Syafii dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum Qurban adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang ditekankan). Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha beliau berkata,
إِذاَ دَخَلَتِ الْعُشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضْحِيَ فَلاَ يَمُسُّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئاً
“Apabila telah masuk sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah dan salah satu diatara kalian menginginkan untuk berqurban, maka janganlah mencukur kulit dan kukunya sedikitpun.” (HR. Muslim)
Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah pada kalimat “kalian menginginkan untuk berqurban.” Kata “menginginkan” adalah sebuah indikasi yang sangat kuat bahwa perkara tersebut adalah sunnah. Karena kata ini menunjukkan ma’na ikhtiyar (adanya pilihan) antara berqurban dan tidak berqurban. Jika wajib, tentunya tidak ada pilihan untuk menunaikannya atau tidak menunaikannya. Karena suatu yang wajib harus ditunaikan oleh seorang muslim baik dia menginginkan atau tidak.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Para ulama’ berselisih pendapat dalam masalah wajibnya berqurban terhadap orang yang dimudahkan (untuk berqurban). Mayoritas dari mereka berpendapat sunnah pada haknya. Jika dia meninggalkannya tanpa adanya alasan, dia tidak berdosa dan tidak ada keharusan untuk mengqodho’ (mengganti).” (Syarh Shohih Muslim: 13/110)
Sedangkan ulama yang lain, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa hukum Qurban adalah Wajib bagi yang berkemampuan. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘Anhu yang menyatakan bahwa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barang siapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (Syarhul Mumti’: III/408)
Para ulama sepakat bahwa hukum berqurban menjadi wajib jika seseorang bernadzar, seperti seseorang berkata, “Aku bernadzar Qurban tahun ini.” Maka, pada saat itu, Qurban menjadi wajib banginya.
Jenis Hewan Qurban
Hewan yang sah digunakan untuk berqurban adalah dari jenis bahimatul an’am (binatang ternak). Dan dimaksud binatang ternak di sini adalah onta, sapi (masuk di dalamnya kerbau) dan kambing (masuk di dalamnya kambing jawa, kambing khibasy, dan biri-biri). Adapun selain dari tiga jenis ini, maka tidak sah. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Alloh terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Alloh kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)
Yang dimakud dengan binatang ternak di atas adalah onta, sapi dan kambing. Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Dan ucapan Alloh (atas apa yang Dia rezekikan dari binatang ternak) yang dimaksud adalah onta, sapi dan kambing sebagaimana telah dijelaskan secara rinci oleh Alloh Ta’ala dalam surat Al-An’am ayat : 143.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/291)
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Diriwayatkan dari Ummu Kurzin Radhiyallahu ‘Anha, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Anak laki-laki hendaklah diaqiqahi dengan 2 kambing, sedangkan anak perempuan dengan 1 kambing. Tidak mengapa bagi kalian memilih yang jantan atau betina dari kambing tersebut.” (HR. An Nasai dan Abu Daud. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Berdasarkan hadits ini, Asy Syairozi Asy-Syafii mengatakan, ‘Jika dibolehkan jantan dan betina dalam aqiqah berdasarkan hadits di atas, maka sama halnya dengan qurban (udhiyah) boleh dengan jantan atau betina.’ (Al-Muhadzdzab: 1/74)
Umur Hewan Qurban
Adapun umur hewan qurban yang sah digunakan untuk berqurban, adalah sebagaimana diriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسِرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَأْنِ
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, kecuali sulit bagi kalian maka hendaklah kalian menyembelih jadza’ah dari domba.” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Para ulama’ berkata, ‘musinnah’ adalah hewan qurban yang telah masuk usia tsaniyyah dan yang di atasnya dari onta, sapi dan kambing.” (Syarh Shohih Muslim: 7/44)
Dan yang dimaksud ‘tsaniyyah’ untuk masing-masing jenis hewan qurban adalah: onta (berusia 5 tahun dan sudah masuk tahun ke enam) sapi (berusia 2 tahun dan sudah masuk tahun ke tiga) kambing (berusia 1 tahun dan sudah masuk tahun ke dua). Keterangan ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari Al-Hanafiyyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah: 15/51)
Barang siapa yang menyembelih hewan qurban yang umurnya di bawah ketentuan di atas, maka qurbannya tidak sah. Karena Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyatakan dalam hadits di atas dengan konteks larangan. Pada asalnya, kontek larangan memberikan faidah rusaknya atau tidak sahnya suatu yang dilarang apabila dikerjakan. Kecuali ada dalil yang memalingkan kepada makna lain.
Cacat pada Hewan Qurban
Ada empat cacat yang membuat hewan qurban tidak sah: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang. Kalau dianggap tidak sah, berarti statusnya cuma daging biasa, bukan jadi qurban.
Dari Al-Barro’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda –sambil berisyarat dengan tangannya-, “Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan qurban: buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.” (HR. Nasai, Abu Daud dan disahihkan Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan bahwa jika di antara empat cacat tersebut ditemukan, maka tidak sah dijadikan qurban.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Jika telah masuk sepuluh hari awal bulan Dzul Hijjah, maka seorang yang hendak berqurban dilarang untuk memotong kuku dan rambut sampai hewan qurbannya disembelih. Baik kuku kaki atau tangan. Baik rambut kepala, atau kumis, atau bulu ketiak, atau bulu sekitar kemaluan, atau bulu tubuh. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika telah tiba sepuluh (dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berqurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” (HR. Muslim dan selainnya)
Iuran Berqurban dan Pahalanya
Biaya pengadaan hewan qurban berupa kambing hanya boleh dari satu orang, sedangkan biaya pengadaan hewan qurban berupa sapi hanya boleh dari maksimal 7 orang dan qurban unta hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan beberapa hadits diantaranya dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘Anhu yang mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
”Pada masa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, ia menilainya shohih)
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
”Dahulu kami penah bersafar bersama Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Dari hadits-hadits tersebut bisa kita simpulkan bahwa seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan,
اللهم هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ لَـمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Ya Alloh ini –qurban– dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim dan dishohihkan Syeikh Al-Albani)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu. Misalnya, qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya.