Alloh Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa manusia itu memiliki dua negeri, yaitu negeri yang dilalui dan negeri tempat menetap dan hidup abadi. Negeri yang dilalui adalah alam dunia ini. Tempat yang isinya memiliki kekurangan, kecuali yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 39)
Ayat ini menggambarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan dan kenikmatan yang sementara, sehingga jangan sampai manusia tertipu oleh kesenangan yang sirna. Dan sesungguhnya alam Akhirat dengan kenikmatannya yang abadi, yang tidak terputus adalah alam keabadian dan tempat tinggal sebenarnya.
Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كاَفِرًا مِنْهَا شُرْبَةَ مَاءٍ
“Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Alloh, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air.“ (HR. At-Tirmidzi)
Diriwayatkan bahwa disaat melewati sebuah pasar, Rosululloh n dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya: “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab: “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi: “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan (cuma-cuma) pada kalian?” Serentak mereka menimpali: “Demi Alloh, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi.” Sambil tersenyum Rosululloh n bersabda: “Demi Alloh, sungguh dunia di sisi Alloh jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini.“ (HR. Al-Bukhori)
Dengan demikian, kehidupan dunia adalah kehidupan yang rendah dan sementara, jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal dan tanpa ada akhirnya. Alloh Subhanahu wa ta’ala memberikan gambaran tentang kehidupan dunia sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24)
Di akhir ayat ini disebutkan, “Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” Ini artinya, hanya orang yang mau berfikir yang mau melihat sekitarnya dan sadar bahwa kehidupan dunia ini adalah sementara. Jangan sampai kita terpedaya oleh kehidupan dunia yang bersifat sementara bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tidak mau tahu mana yang halal dan mana yang haram serta menganggap bahwa harta adalah segala-galanya. Wal ‘iyadzubillah.
Berlomba-Lomba dalam Kebaikan
Jika manusia telah mengetahui hakekat dunia yang fana ini, maka selayaknya dia selalu ingat dan waspada, jangan sampai tergoda kenikmatan dunia yang sementara, kemudian melalaikan akhirat yang sangat berharga. Sepantasnya manusia berlomba melakukan ketaatan-ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan untuk meraih kebaikan akhirat. Oleh karena itu Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Robbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Alloh dan rosul-rosulNya. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Alloh mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 21)
Juga sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa ta’ala.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Robbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imron: 133)
Pada suatu waktu, Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam memegang pundak Abdullah bin Umar Rodiyallohu anhu beliau berpesan,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.”
Ibnu Umar berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.” (HR. Al-Bukhori)
Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda yang sia-sia, masa sehat, umur yang tidak bermanfaat dan lain sebagainya.
Hakikat manusia adalah seperti orang asing atau musafir. Mereka datang ke dunia kemudian mereka pergi meninggalkannya. Kematian akan menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang wajib untuk memberikan perhatian pada dirinya. Musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah kelalaian tentang hakikat ini, kelalaian tentang hakikat dunia yang sebenarnya. Jika Alloh memberi nikmat kepada kita sehingga kita bisa memahami hakikat dunia ini, bahwa dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha, negeri yang sementara dan tidak kekal, niscaya hati kita akan menjadi sehat. Adapun jika kita lalai tentang hakikat ini maka kematian dapat menimpa siapapun. Semoga Alloh menyadarkan kita semua dari segala bentuk kelalaian.
Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia.
Zuhud Terhadap Dunia
Al-Hasan Al-Bashri Rohimallohu ta’ala menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Alloh Subhanahu wa ta’ala daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi Sholallohu alaihi wa sallam, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman Alaihi Salam, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh dalam Al-Qur’an. Para Shahabat Rodiyallohu anhum ajmain, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya. Karena hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia hanya di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala dan akhirat.
Mutiara Hadits
Dari Zaid bin Tsabit Rodiyallohu anhu , ia mendengar Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
“Barang siapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Alloh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barang siapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Alloh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan selainnya)