Secara bahasa, itsar berarti mengutamakan atau mendahulukan. Sedangkan secara istilah artinya mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya sendiri terhadap sesuatu yang bermanfaat. Sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, terbagi menjadi dua:
Pertama, Itsar dalam Perkara Ibadah
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena setiap muslim diperintahkan untuk mengagungkan Alloh Subhanahu wa ta’ala, sehingga ia tidak boleh mendahulukan orang lain atas dirinya dalam perkara ibadah ini.
Misalnya adalah seseorang yang memiliki persediaan air yang terbatas untuk berwudhu, sedangkan orang lain juga membutuhkannya. Maka, dia tidak diperkenankan untuk memberikannya kepada orang lain, sementara dirinya sendiri bertayammum.
Kedua, Itsar dalam Perkara Duniawi
Mendahulukan orang lain pada perkara duniawi yang bukan ibadah, sangat dianjurkan bagi umat Islam. Itsar bentuk kedua inilah yang merupakan salah satu kemuliaan akhlak seorang muslim, juga termasuk perbuatan yang dicintai Alloh Subhanahu wa ta’ala dan pelakunya akan dicintai oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Subhanahu wa ta’ala pula.
Orang yang itsar biasanya akan dengan sukarela memudahkan urusan saudaranya tanpa diminta. Mereka ingin selalu bermanfaat bagi saudaranya. Tentunya, ini menjadi sebuah tingkatan ekspresi persaudaraan yang paling tinggi. Alloh l memuji kaum Anshor yang melakukannya untuk kaum Muhajirin, dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka (kaum Anshor) mengutamakan (kaum Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Keadaan kaum Anshor sendiri sebenarnya juga sulit, berat, dan memiliki kebutuhan yang sama dengan saudaranya dari kaum Muhajirin, tetapi kekikiran yang ada pada jiwa mereka bisa mereka tundukkan. Bahkan untuk mengeluarkan bantuan itu pun mereka bersusah payah; susah payah ini bukan untuk dirinya tapi untuk saudaranya.
Dari Anas bin Malik z, ia menyatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah dipersaudarakan oleh Nabi n dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshori. Ketika itu Sa’ad Al-Anshori memiliki dua orang istri dan memang ia terkenal sangat kaya. Lantas ia menawarkan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk berbagi dalam istri dan harta. Artinya, istri Sa’ad yang disukai oleh ‘Abdurrahman akan diceraikan lalu diserahkan kepada ‘Abdurrahman untuk dinikahinya setelah masa ‘iddahnya selesai. ‘Abdurrahman ketika itu menjawab,
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِى أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، دُلُّونِى عَلَى السُّوقِ
“Semoga Alloh memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”
Lantas ditunjukkanlah kepada ‘Abdurrahman pasar, lalu ia berdagang hingga ia mendapat untung yang banyak karena berdagang keju dan samin. (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Inilah itsar, inilah gambaran persaudaraan yang tertinggi dalam Islam. Jarang orang yang mampu melakukannya, wajarlah itu karena ini memang benar-benar spesial.
Keutamaan Itsar
Sungguh, seseorang yang mempunyai itsar, akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang sangat banyak, diantara keutamaan-keutamannya adalah:
Pertama, Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan Islam seseorang
Iman bukan sekedar keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan, namun juga harus tercermin dalam amaliah keseharian. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai mukmin yang sempurna imannya bila bersikap acuh terhadap saudaranya. Nabi Sholallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Salah seorang kalian tidak (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Nabi Sholallohu alaihi wa sallam juga bersabda,
“Bukan seorang mukmin yang dia kenyang sementara tetangganya lapar.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 82)
Kedua, Merekatkan ukhuwah antar sesama muslim
Dari Abu Huroiroh Rodiyallohu anhu, Nabi Sholallohu alaihi wa sallam bersabda,
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhori dalam Al-Adab Al-Mufrod, no. 594))
Hadits ini menunjukkan bahwa pemberian hadiah akan menarik rasa cinta diantara sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengan itulah akan terwujud kebaikan dan kedekatan antar sesama muslim. Sementara agama Islam adalah agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta.
Juga ada hadits Nabi Sholallohu alaihi wa sallam yang ditujukan kepada para wanita,
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا ، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai para wanita muslimah, tetaplah memberi hadiah pada tetangga walau hanya kaki kambing yang diberi.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Ini pertanda bahwa tetaplah perhatikan sesama saudara terutama tetangga kita dalam hadiah dengan sesuatu yang gampang bagi kita. Memberi sedikit tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.
Ketiga, Menghilangkan kedengkian
Dari Abu Huroiroh Rodiyallohu anhu, Nabi Sholallohu alaihi wa sallam bersabda,
تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ
“Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatho’, 2/ 908/ 16))
Hadiah bisa menumbuhkan rasa cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam hati. Rasulullah n bersabda,
تَهَادَوْا ، فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ السَّخِيمَةَ
“Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, hadits dhoif)
Keempat, Mengikis Sifat kikir manusia
Dari Abu Huroiroh dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al-Khats’ami Rodiyallohu anhuma, bahwa Nabi Sholallohu alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdal. Beliau Sholallohu alaihi wa sallam menjawab,
جَهْدُ الْمُقِلِّ
”Sedekah yang diberikan secara susah payah oleh orang yang berharta sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i dan lainnya)
Makna hadits ini diperkuat oleh hadits lain yang mengatakan,
سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ قَالَ رَجُلٌ لَهُ دِرْهَمَانِ فَأَخَذَ أَحَدَهُمَا فَتَصَدَّقَ بِهِ وَرَجُلٌ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ فَأَخَذَ مِنْ عُرْضِ مَالِهِ مِائَةَ أَلْفٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا
“Satu Dirham dapat mengalahkan seratus ribu Dirham.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana itu?” Beliau bersabda: “Ada seorang yang memiliki uang dua Dirham lalu dia menyedekahkan satu Dirham. Ada orang lain yang memiliki banyak harta dia mengambil kekayaannya itu seratus ribu Dirham lalu menyedekahkannya.” (HR. An Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan selainnya)
Secara logika, bagaimana bisa sedekah satu Dirham mengalahkan seratus ribu Dirham? Itulah syariat. Syariat memandang tingkat kesulitan yang dialami pelakunya dalam menjalankan proses amal, bukan semata-mata angka-angka yang dikorbankannya.