Niat dan Pengaruhnya dalam Ibadah
Islam menaruh perhatian besar terhadap niat yang menyertai setiap amal perbuatan manusia. Segala bentuk perbuatan yang dikerjakan oleh orang berakal yang mempunyai ikhtiar pasti terjadi karena adanya niat untuk melakukannya. Karena itu, nilai amal ibadah manusia, hakikatnya kembali kepada pelakunya dan tergantung kepada niatnya dalam melakukan ibadah tersebut.
Dari Umar bin Al-Khotthob Rodiyallohu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya menghadirkan niat dalam mengerjakan suatu amal perbuatan.
Makna Niat
Imam An-Nawawi Rohimallohu Ta`ala menjelaskan bahwa, “Niat itu artinya adalah “al-qoshdu” (menyengaja, yakni sengaja untuk melakukan suatu perbuatan). Yaitu, dia berniat untuk melakukan sholat tertentu yang dia tegakkan, dan menentukan jenis sholat tertentu tersebut di dalam hatinya, contohnya: (dia sholat itu untuk melakukan) sholat fardhu Dhuhur atau Ashar, atau untuk melakukan sholat sunnah dan seterusnya.” (Roudhotut Tholibin, 1/224)
Fungsi Niat
Pertama; Untuk Menentukan Tujuan dalam Beramal
Seseorang tentunya memiliki tujuan dalam mengerjakan ibadah. Apakah untuk tujuan ukhrowi ataukah tujuan duniawi semata? Jika tujuannya untuk mendapatkan kebahagiaan negeri akhirat, maka Alloh akan meridhoinya. Namun, jika tujuannya hanya untuk duniawi semata, maka dia akan mendapatkan apa yang dia niatkan tersebut, seperti yang dijelaskan contohnya dalam kelanjutan hadits niat diatas, dimana Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam menjelaskan, “Barang siapa hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang akan didapatkannya atau wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”
Kedua; Untuk Membedakan Perbuatan antara Ibadah dengan Adat (kebiasaan)
Banyak perbuatan yang mungkin dimaksudkan sebagai ibadah, tapi mungkin juga dimaksudkan sekedar adat atau kebiasaan atau tujuan lain. Seperti seorang yang mandi, apakah mandinya itu bernilai ibadah atau sekedar mandi biasa tergantung niatnya. Karena mungkin saja ia mandi dengan tujuan agar badannya segar semata, sehingga mandinya tidak bernilai ibadah. Begitu juga dengan seseorang yang menahan makan dan minum, mungkin saja tujuannya adalah diet, atau karena tidak ada selera makan, atau bisa juga sebagai ibadah puasa. Semuanya tergantung niatnya.
Perbuatan seperti di atas jika ingin dikategorikan sebagai ibadah, maka ia harus disertai niat taqorrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Bahkan, seseorang yang mengerjakan perbuatan yang bukan ibadah, namun perbuatan tersebut bernilai ibadah karena niatnya. Seperti seseorang yang bekerja mencari nafkah. Pada dasarnya, ia tidak diberi pahala ataupun mendapatkan dosa atasnya. Maka, bagi seorang yang berakal semestinya berusaha untuk menjadikan aktifitas tersebut menjadi bagian amal sholihnya. Dan hal itu bisa didapatkan dengan memunculkan niat yang sholih. Di antaranya dengan niat untuk mencari harta yang halal, sehingga tidak meminta-minta kepada orang lain dan menjadi sarana baginya untuk menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang ditanggungnya, baik istri ataupun anaknya. Hal ini sebagaimana Sabda Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh Rodiyallohu anhu,
وإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Dan sesungguhnya tidaklah engkau memberi nafkah, yang dengannya engkau mengharap ridho Alloh, kecuali engkau dibalas dengannya, termasuk apa yang engkau berikan di mulut istrimu.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Ketiga; Untuk Membedakan Ibadah antara yang satu dengan yang lainnya
Seperti seseorang yang mengerjakan sholat dua rakaat, apakah ia sholat sunnah qobliyah misalnya, ataukah sholat yang lain, yang membedakannya adalah niat. Juga seseorang yang berpuasa yang dilakukan di luar Romadhon, apakah ia qodho’ Romadhon ataukah nadzar, puasa kafarat, ataukah puasa sunnah, jika puasa sunnah apakah puasa Dawud, ataukah yang lain, yang membedakannya adalah niatnya.
Perintah Ikhlas dalam Beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala
Setiap muslim hendaknya selalu memperhatikan niatnya terutama dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala, yaitu Ikhlas Semata-mata Mengharap wajah Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan (Ikhlas) kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ikhlas adalah menjadikan Alloh Subhanahu Wa Ta`ala sebagai tujuan dalam niat dan kehendaknya. Semakin ikhlas seseorang, maka semakin besar pula pahala yang didapatkan. Namun berkurangnya keikhlasan seseorang, semakin kecil pula pahala yang didapatkan atau bahkan tidak bernilai pahala disisi Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Ibnul Mubarok Rohimallohu Ta`ala berkata,
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيْرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيْرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Jami’ Al-Ulum wal Hikam)
Orang yang tidak memiliki niat yang benar atau tidak ikhlas dalam mengerjakan amal sholeh, hendaknya ia takut akan dimasukkan ke dalam Neraka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat dari Abu Huroiroh Rodiyallohu anhu, ia menceritakan, “Orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang menghafal Al-Qur`an, orang yang terbunuh di jalan Alloh, dan orang yang banyak harta.
Maka Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berkata kepada sang qori`, ‘Tidakkah Kuajarkan kepadamu apa yang saya turunkan kepada RosulKu?’
Dia menjawab, ‘Benar wahai Robbku.’
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berkata lagi, ‘Apa yang kamu perbuat terhadap apa yang sudah kamu ketahui itu?’
Dia menjawab, ‘Saya menjalankannya sepanjang malam dan sepanjang siang.’
Maka Alloh Subhanahu Wa Ta`ala menyanggah, ‘Kamu telah berdusta.’
Dan para Malaikat berkata kepadanya, ‘Kamu telah berdusta.’
Kemudian Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berkata kepadanya, ‘Justru kamu melakukan hal itu dengan maksud agar dikatakan: Si fulan adalah qori`.’ Dan hal itu telah dikatakan kepadamu.
Kemudian didatangkan orang yang mempunyai banyak harta. Alloh Subhanahu Wa Ta`ala bertanya kepadanya, ‘Tidakkah sudah Kulimpahkan harta kepadamu hingga kamu tidak membutuhkan siapa pun?.’
Orang itu menjawab, ‘Benar wahai Robbku.’
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala bertanya lagi, ‘Apa yang kamu kerjakan terhadap harta yang Kuberikan kepadamu itu?.’
Dia menjawab, ‘Saya menggunakannya untuk menyambung silaturrahmi dan bersodaqoh.’
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala menyanggah kepadanya, ‘Kamu telah berdusta.’
Para Malaikat juga berkata kepadanya, ‘Kamu telah berdusta.’
Kemudian Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berkata, ‘Justru kamu melakukan itu dengan maksud agar dikatakan: Si Fulan adalah lelaki yang dermawan.’ Dan hal itu sudah dikatakan kepadamu.
Kemudian didatangkan orang yang terbunuh di jalan Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Maka Alloh Subhanahu Wa Ta`ala bertanya, ‘Dalam rangka apa kamu terbunuh?.’
Dia menjawab, ‘Saya diperintah berjihad di jalan Engkau. Maka saya berperang hingga terbunuh.’
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala menyanggah kepadanya, ‘Kamu telah berdusta.’
Para Malaikat juga berkata kepadanya, ‘Kamu telah berdusta.’
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berkata, ‘Justru kamu melakukan itu agar dikatakan kepadamu: Si Fulan adalah pemberani.’ Dan hal itu telah dikatakan kepadamu.
Kemudian Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam menepuk kedua lututku sambil berkata: ‘Wahai Abu Huroiroh! Ketiga golongan itu adalah makhluk yang pertama kali Neraka dinyalakan untuk mereka pada Hari Kiamat.’” (HR. Muslim)