Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad, kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54)
Kelahiran Ismail Alaihi salam dan Api Kecemburuan Sarah Alaiha salam
Nabiyulloh Ibrahim Alaihi salam telah memasuki usia lanjut, rambutnya pun telah memutih. Walaupun begitu, beliau masih sangat menginginkan buah hati dari istrinya, Sarah Alaiha salam yang sampai saat itu belum dianugerahi seorang anak. Mengingat hal itu, Sarah Alaiha salam meminta Ibrahim Alaihi salam agar menikahi pelayannya, Hajar Alaiha salam, dengan harapan agar Alloh Subhanahu wa ta’ala mengaruniakan darinya seorang putra yang sholeh sebagai penerus perjuangan beliau.
Alloh Subhanahu wa ta’ala mengabulkan harapan itu. Seorang anak lahir dari rahim Hajar Alaiha salam yang diberi nama Isma’il Alaihi salam. Tatkala Hajar Alaiha salam melahirkan seorang anak, sementara Nabi Ibrahim Alaihi salam sudah sangat tua, beliau tidak dapat menahan rasa bahagianya itu sehingga ekspresi bahagianya sangat terlihat jelas oleh Sarah Alaiha salam, istri pertamanya. Api cemburu pun membakar hatinya terhadap Hajar, istri keduanya dan anaknya, Isma’il Alaihi salam.
Ibrahim Meninggalkan Hajar dan Ismail Alaihi salam
Ibrahim membawa Hajar dan putranya, Isma’il Alaihi salam, yang masih menyusu itu hingga ke tempat berdirinya Ka’bah. Mereka melewati padang pasir nan gersang menuju lembah berbukit yang dikenal sebagai lembah Bakkah. Lembah itu kini menjadi kota suci Mekkah yang saat itu tak berpenghuni seorang pun, juga tidak ada air.
Ibrahim Alaihi salam menaruh sekantong kurma dan sebuah geriba (kantong kulit) berisi air disisi Hajar Alaiha salam, kemudian berbalik ke arah mereka datang. Hajar Alaiha salam terperanjat menyaksikan hal itu. Ia mengejar Ibrahim Alaihi salam seraya bertanya, “Ibrahim, hendak ke manakah engkau pergi? Mengapa engkau meninggalkan kami berdua di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apa-apanya ini?”
Hajar mengucapkan pertanyaan itu berkali-kali, tetapi Ibrahim sama sekali tidak menengok. Akhirnya, Hajar Alaiha salam bertanya, “Apakah Alloh yang memerintahkanmu untuk melakukan hal ini?”
Kini Ibrahim q menjawab, “Benar!”
Mendengar jawaban tersebut, berkatalah Hajar w,
إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا
”Kalau begitu, Alloh pasti tidak akan menelantarkan kami.”
Ia pun kembali ke tempatnya semula. Sementara itu, Ibrahim Alaihi salam terus melangkah hingga sampai di sebuah tempat yang tak terlihat oleh Hajar Alaiha salam. Di situ ia berhenti lalu menghadapkan wajahnya ke arah Ka’bah seraya berdoa,
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitulloh) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Dari kisah ini, kita mengetahui bahwa kepergian Nabi Ibrahim Alaihi salam tidak ada hubungannya dengan kecemburuan Sarah Alaiha salam atau alasan lain, melainkan karena perintah Alloh Subhanahu wa ta’ala kepadanya. Dari luar memang sukar dan sulit, namun hakekatnya itu merupakan rahmat dan hikmah yang tinggi, serta kemaslahatan bagi manusia.
Nabi Ibrahim Alaihi salam kembali ke tanah airnya, Palestina. Dengan penuh harap, ia bermunajat kepada Alloh Subhanahu wa ta’la,
رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 129)
Alloh Subhanahu wa ta’ala telah menggariskan bagi Nabi Ibrahim Alaihi salam dua jalur kenabian:
Pertama; Keturunan Nabi Ishaq yang melahirkan Ya’qub (Israil) Alaihi salam, dan dari sinilah melahirkan banyak Nabi dan Rosul hingga yang terakhir dari mereka adalah Nabi Isa Alaihi salam.
Kedua; Keturunan Nabi Isma’il Alaihi salam yang menjadi nenek moyang bangsa Arab. Adapun, Nabi yang akan datang dari keturunan Nabi Isma’il Alaihi salam, akan menjadi Nabi terakhir dan pemimpin para Rosul. Dialah Nabi Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam yang diutus untuk menebarkan kedamaian ke seluruh dunia, bukan hanya pada suku atau etnis tertentu.
Asal Mula Ibadah Sa’i
Hajar w mulai menyusui Ismail Alaihi salam dan minum dari air persediaan yang ada. Ketika air yang ada pada geriba (wadah kulit) habis, ia dan anaknya merasa kehausan. Lalu ia memandang kepada Ismail sang bayi yang sedang meronta-ronta, kemudian Hajar Alaiha salam pergi meninggalkan Ismail untuk mencari air karena tidak kuat melihat keadaannya.
Hajar Alaiha salam bergegas bangkit untuk mencari air sampai ke puncak bukit yang paling dekat, bukit Shofa. Di situ ia berbalik menghadap ke arah lembah di bawahnya untuk melihat apakah ada orang di bawah. Namun, tak seorang pun tampak olehnya. Maka ia pun turun dari bukit Shofa. Sesampainya di bawah, ia mengangkat salah satu ujung pakaiannya, kemudian berlari-lari kecil hingga sampai di ujung lembah. Ia terus naik ke atas bukit Marwa, lalu menengok ke bawah untuk melihat apakah ada orang disana. Namun, lagi-lagi tak dilihatnya satu orang pun. Dikerjakannya hal itu bolak-balik sampai tujuh kali putaran.
Kisah inilah yang menjadi asal mula mula rukun ibadah haji yang dikenal dengan Sa’i atau berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara bukit Shofa dan Marwah. Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi Sholallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَذَلِكَ سَعْيُ النَّاسِ بَيْنَهُمَا
“Itulah (asal-mula) sa’i manusia (orang yang berhaji) di antara keduanya (Shofa dan Marwah).” (HR. Al-Bukhori)
Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Shofa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Alloh. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitulloh atau mengerjakan umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Alloh Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 158)
Kisah Sumur Zamzam
Pada akhir putaran ketujuh, Hajar Alaiha salam didatangi oleh malaikat Jibril Alaihi salam yang lalu menggali mata air Zamzam dengan tumitnya atau dengan kedua sayapnya menurut sebagian riwayat. Beberapa saat kemudian, air memancar dari lubang galian tersebut. Hajar Alaiha salam segera membendung pancaran air dan mewadahinya dengan kantong airnya. Diriwayatkan, setiap kali Hajar Alaiha salam menciduk, mata air itu semakin deras memancar. Demikian berlangsung terus-menerus. Terkait dengan keajaiban ini, Rosululloh Sholallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ أَوْ قَالَ : لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا
“Semoga Alloh merahmati Ummu Isma’il (ibunya Ismail), seandainya saja ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka air zamzam akan mengalir terus.” (HR. Al-Bukhori)
Hajar menggunakan air itu untuk memuaskan dahaganya sendiri dan untuk menyusui putranya. Kemudian malaikat Jibril Alaihi salam berkata kepadanya, “Janganlah kalian takut terlantar. Sesungguhnya tempat ini adalah rumah Alloh yang kelak akan dibangun oleh anak ini bersama ayahnya. Dan sesungguhnya Alloh tidak akan pernah menelantarkan penghuninya.”
Beberapa waktu setelah kejadian itu, sekelompok orang dari kabilah Jurhum al-Yamaniyah al-Qohthoniyah melintas dan melihat mata air tersebut. Mereka pun meminta izin kepada Hajar Alaiha salam agar diperbolehkan tinggal bersama keduanya di daerah itu. Hajar Alaiha salam mengabulkan permintaan mereka dengan syarat mereka tidak berhak atas kepemilikan mata air Zamzam. Mereka menyetujui persyaratan Hajar w sehingga tak lama kemudian, mereka memboyong sanak keluarga mereka yang masih berada di kampung halaman mereka untuk tinggal di Mekkah.
Singkat cerita, Isma’il Alaihi salam pun tumbuh menjadi seorang remaja di tengah tengah mereka. Ia juga belajar bahasa Arab dari mereka. Bahkan pada masa remajanya, orang-orang dari kabilah Jurhum banyak yang menaruh simpati kepadanya, sehingga setelah ia dewasa, mereka menikahkannya dengan salah satu perempuan mereka.
Bersambung. . .