Suatu hari Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam menengok salah satu sahabatnya yang sedang sakit parah, bahkan keadaan sahabat ini sampai kurus dan lemah seperti kurus dan lemahnya anak burung yang masih kecil. Ketika itu Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
هَلْ كُنْتَ تَدْعُو بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إِيَّاهُ
“Apakah kamu pernah berdoa ataupun memohon sesuatu kepada Alloh?”
Sahabat tersebut menjawab; ‘Ya, saya pernah berdoa:
اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا
‘Ya Alloh ya Robku, apa yang akan Engkau siksakan kepadaku di akhirat kelak, maka segerakanlah siksa tersebut di dunia ini!‘
Mendengar pengakuannya itu, Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam pun bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ لَا تُطِيقُهُ أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ أَفَلَا قُلْتَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ فَدَعَا اللهَ لَهُ فَشَفَاهُ
‘Subhanalloh, mengapa kamu berdoa seperti itu. Tentu kamu tidak akan tahan. Mengapa kamu tidak berdoa:
اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Alloh, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka.”
Anas Rodiyallohu anhu berkata; ‘Lalu Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam berdoa kepada Alloh untuk sahabat tersebut dan akhirnya Alloh pun menyembuhkannya.’ (HR. Muslim)
Do’a ini adalah do’a yang sering dibaca oleh Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhori, “Bahwasanya do’a yang paling sering diucapkan Nabi Sholallohu alaihi wa sallam adalah: “Ya Alloh Robb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat serta jauhkanlah kami dari adzab Neraka.”
Ibnu Hajar Rohimahulloh mengatakan, ‘Iyadh Rohimahulloh mengatakan, “Nabi Sholallohu alaihi wa sallam sering berdo’a dengan do’a ini karena pada do’a ini terkumpul makna do’a seluruhnya baik yang berhubungan dengan perkara dunia dan akhirat.” (Fathul Bari, 11/191-192)
Apa Makna Kebaikan di Dunia?
Ketika Ibnu Katsir Rohimahulloh menjelaskan kandungan surat Al-Baqoroh 201, beliau berkata, ‘Ayat ini tercakup padanya seluruh kebaikan dunia dan terhindarkan dari segala keburukan. Sesungguhnya kebaikan dunia meliputi semua hal yang dicari di dunia misalnya kesehatan, rumah yang bagus, istri yang baik, rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal sholeh, kendaraan yang bagus, pujian yang baik dan lain sebagainya.’ (Tafsir Ibnu Katsir, 1/558)
Dari seluruh kebaikan-kebaikan dunia ada kebaikan yang lebih tinggi bobotnya dari yang lain. Sebagaimana penjelasan Hasan Al-Bashri Rohimahulloh tentang makna fid-dunya hasanah:
اَلْحَسَنَةُ فِي الدُّنْيَا: اَلْعِلْمُ وَالْعِبَادَةُ
“Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah.” (Lathooiful Ma’arif: 290)
Penjelasan ulama terkemuka di era tabi’in ini bukan mengenyampingkan kebaikan-kebaikan dunia lainnya, namun kebaikan ilmu dan ibadah ini lebih menonjol dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan lainnya, karena dengan kebaikan ini, kebaikan di akherat nanti akan tercapai. Pantas kalau Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah Rohimahulloh menyampaikan pujian atas penafsiran Hasan Al-Bashri ini. Ia berkata:
وَهذَا مِنْ أَحْسَنِ التَّفْسِيْرِ فَإِنَّ أَجَلَّ حَسَنَاتِ الدُّنْيَا الْعِلْمُ النَّافِعُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ
“Inilah tafsir yang paling baik, karena kebaikan yang paling tinggi adalah ilmu (syar’i) yang bermanfaat dan amal yang shalih.” (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 141)
Surga sebagai kebaikan di akhirat disediakan oleh Alloh l untuk orang-orang yang beribadah hanya kepada Alloh l. Dan ibadah kepada Alloh l bisa benar kalau dilandasi ilmu, sebagaimana ungkapan Umar bin Abdul Aziz Rohimahulloh:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barang siapa beribadah kepada Alloh tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al-Fatawa, 2: 382)
Ilmu dan Ibadah puncak kebaikan dunia tertinggi
Disinilah korelasinya, mengapa kebaikan dunia dalam bentuk ilmu dan ibadah menjadi kebaikan dunia terbaik karena kebaikan ini akan menghantarkan tercapainya kebahagiaan di akhirat nanti. Sedangkan kebaikan-kebaikan lainnya dalam bentuk harta, jabatan, istri, anak, kesehatan belum tentu berbuah kebaikan di akherat nanti. Bahkan tidak sedikit orang yang celaka karena harta dan jabatan yang dimilikinya. Mari kita renungkan keluhan para penghuni neraka atas harta dan jabatan yang dulu mereka sandang. Alloh l berfirman yang artinya,
“Wahai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (Al-Haaqqah: 27-29)
‘Yakni harta dan kedudukanku tidak dapat membelaku dari azab Alloh dan pembalasan-Nya, bahkan segala sesuatunya ditanggung oleh diriku, tiadayang menolongku dan tidak ada orang yang melindungiku.’ (Tafsir Ibnu Katsir, 8/215)
Harta memang menggoda, banyak orang yang gelap mata karena tergoda harta. Mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama, tidak memperdulikan halal haram, yang penting mendapatkan harta, na’uudzu billah min dzalik.
Padahal semua makhluk sudah dijamin rizqinya, tinggal bersabar dalam mengaisnya. Justru ketika ia menempuh cara yang haram dalam mendapatkan harta, maka sungguh ini akan mengurangi jatah rizqi halalnya. Ibnu ‘Abbas Rodiyallohu anhu berkata, “Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberi, niscaya Alloh akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Alloh akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)
Bahkan bukan hanya mengurangi jatah rizqi halalnya, namun terancam tidak mendapatkan kebaikan di akhirat nanti.
Harta antara kebaikan dan keburukan
Banyak manfaat yang didapat seseorang dengan berlimpahnya harta, namun banyak pula keburukan yang menimpa seseorang dengan sebab harta yang dimilikinya. Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam menyebut harta ini sebagai fitnah terbesar bagi ummat ini:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي المَالُ
“Setiap umat memiliki ujian, dan ujian umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336. Shahih al-Jâmi no. 2148)
Ambisi terhadap harta dan kedudukan memiliki daya rusak yang dahsyat terhadap agama sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua serigala lapar yang menghampiri seekor kambing lebih berbahaya baginya dari ambisi seseorang kepada harta dan kedudukan bagi agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2376, ia berkata: hasan shahih, Ahmad: 3/656)
Dulu para istri generasi salaf, mereka mensupport suaminya untuk mencukupkan diri dengan harta yang halal,
إِيَّاكَ وَكَسْبَ الْحَرَامِ، فَإِنَّا نَصْبِرُ عَلَى الْجُوْعِ وَلاَ نَصْبِرُ عَلىَ النَّارِ
‘Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.’ (Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Kebaikan istri dan anak
Kita senang dan bersyukur atas limpahan kebaikan yang dianugerahkan Alloh Azza wa Jalla kepada kita baik berupa harta, istri, anak, Kesehatan dan yang lainnya. Akan tetapi ketika semua itu tidak dijadikan modal untuk mendapatkan ilmu yang menghantarkan kita bisa beribadah dengan benar, maka nikmat-nikmat akan berubah jadi bencana.
Ibnu Hazm Rohimahulloh berpesan:
كُلُّ نِعْمَةٍ لَا تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Alloh, itu hanyalah musibah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 245)
Kehadiran istri dan anak dalam kehidupan kita adalah bagian dari kebaikan dunia. Namun tidak sedikit yang justru berujung keburukan. Alloh Azza wa Jalla mengingatkan ini dalam firman-Nya yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (At-Taghabun: 14)
Mujahid Rohimahulloh sebagaimana yang dikutip Ibnu Katsir Rohimahulloh menjelaskan, ‘Karena mendorong seseorang untuk memutuskan tali persaudaraan atau berbuat suatu maksiat terhadap Rabbnya, karena cintanya kepada istri dan anak-anaknya terpaksa ia menaatinya dan tidak kuasa menolaknya.’ (Tafsir Ibnu Katsir, 8/139)