Nilai-Nilai Tauhid Dalam Ibadah Haji
Ibadah Haji merupakan salah satu dari 5 rukun Islam yang hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang baligh, berakal, merdeka dan mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh di Makkah, yang mana kewajiban ini berlaku hanya sekali seumur hidup.
Setiap Muslim sangat merindukan untuk bisa mengerjakan ibadah yang agung ini, dimana di dalamnya terdapat rentetan ibadah besar yang penuh dengan hikmah dan pelajaran. Karena itulah, Alloh Subhanahu Wa Ta`ala memberikan balasan yang besar dalam ibadah ini sebagaimana Rosululloh Subhanahu Wa Ta`ala bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Imam An-Nawawi t menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarah Shohih Muslim: 9/119)
Allohlberfirman,
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Alloh pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Alloh telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 27-28)
Nilai Tauhid pada Ka’bah
Ka’bah (Baitulloh) merupakan rumah pertama yang didirikan sebagai lambang tauhid dan keesaan Alloh Sholallohu alaihi wa sallam dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya di muka bumi ini. Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail alaihi ma sallam membangun Ka’bah diatas pondasi tauhid dan untuk orang-orang yang bertauhid.
Ka’bah juga merupakan manifestasi keagungan dan rahmat Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Rumah suci ini adalah monumen sejarah hidup Nabi Ibrahim aihi sallam dan Muhammad Sholallohu alaihi wa sallam, serta perjuangan mereka dalam menyebarkan tauhid kepada seluruh umat manusia.
Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitulloh (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thowaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS. Al-Hajj: 26)
Nilai Tauhid dalam Talbiyah
Gema talbiah menggema dari para tamu Alloh Subhanahu Wa Ta`ala di tanah suci mekah yang menyentuh hati. Sebuah ucapan yang dapat melupakan manusia dari hal-hal yang berbau duniawi, kalimat talbiyah berisi pernyataan tauhid kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala dan penentangan terhadap syirik.
Seorang sahabat Nabi Sholallohu alaihi wa sallam yang mulia, Jabir bin Abdillah Rodiyallohu anhu, ketika menjelaskan sifat haji Rosululloh Subhanahu Wa Ta`ala ia mengatakan, bahwa Nabi Subhanahu Wa Ta`ala bertalbiyah dengan tauhid, yaitu:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Alloh, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Alloh, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Maka, Jabir bin Abdillah Rodiyallohu anhu mensifati talbiyah Nabi Sholallohu alaihi wa sallam di atas sebagai talbiyah dengan tauhid. Sebab, di dalamnya berisi pemurnian peribadatan hanya kepada Alloh dan membuang kemusyrikan. Hal ini juga membuktika bahwa kalimat-kalimat talbiyah itu bukan semata lafal-lafal kosong, tetapi mengandung makna agung yang merupakan ruh dan asas agama, yaitu tauhidulloh.
Oleh karena itu, setiap orang yang mengumandangkan kalimat-kalimat talbiyah di atas wajib menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia menjadi orang yang benar dalam bertalbiyah, kata-katanya cocok dengan kenyataannya, ia benar-benar berpegang pada ajaran tauhid dan menjaga hak-hak tauhid. Menjauhi segala hal yang dapat membatalkan tauhid, baik itu kemusyrikan maupun yang lainnya.
Nilai Tauhid dalam Thowaf
Thowaf berarti berputar mengelilingi baitul harom (Ka’bah). Thowaf melambangkan nilai-nilai tauhid, dimana dalam thowaf manusia diarahkan agar selalu mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala bukan hanya satu kali saja, tetapi berulang kali dan setiap waktu selama tujuh hari dalam seminggu, sebagaimana dilambangkan dalam ibadah thowaf yang dilakukan tujuh kali putaran.
Thowaf tersebut dilakukan dengan penuh penghayatan akan kehadiran Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berdzikir, berdoa dan memohon ampun kepada-Nya. Ibadah thowaf ini menggambarkan bahwasanya manusia ketika beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala, mereka merasakan kehadiran-Nya setiap hari, mengingat kepada-Nya, berzikir, berdoa dan memohon ampun kepada-Nya.
Nilai Tauhid dalam Wukuf
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Alloh yang menguasai segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan di shohihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Bunyi doa tersebut memang tidak bernada meminta, namun dialah rajanya doa. Tidak ada pujian yang lebih dicintai Alloh Subhanahu Wa Ta`ala melebihi pengakuan atas Uluhiyyah-Nya. Tiada sesuatu yang lebih agung di mata Alloh Subhanahu Wa Ta`ala daripada tauhid.
Lihatlah bagaimana doa Nabi Yunus Alaihi sallam tatkala mendekam dalam perut ikan sebagaimana yang difirmankan Alloh Subhanahu Wa Ta`ala,
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Adakah beliau meminta sesuatu dalam ucapan tadi? Tidak. Namun lihatlah bagaimana ayat selanjutnya, yang artinya, “Maka Kami ijabahi doanya, dan kami selamatkan dia dari kesedihannya, dan demikian pula kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.”
Nabi Yunus q memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Alloh dengan pujian yang paling dicintai-Nya. Oleh karenanya, begitu mendengar pujian ini dari dalam perut ikan, di kedalaman lautan, dan di tengah kegelapan malam; Alloh Subhanahu Wa Ta`ala langsung mengijabahinya seketika, dan mengeluarkannya dari perut ikan. Beliau terbebas dari tiga lapis kegelapan.
Inilah makna yang tersirat dalam anjuran Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam untuk memperbanyak bacaan tadi di hari Arofah.
Nilai Tauhid dalam Mencium Hajar Aswad
Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad diperintahkan oleh Alloh Sholallohu alaihi wa sallam dan Rasul-Nya. Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad tidak diiringi dengan keyakinan bahwa kedua makhluk ini memberikan manfaat atau mudhorot. Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad tidak bertentangan dengan ilmu tauhid dan bukan kesyirikan, bahkan itu adalah bentuk pengagungan dan peribadatan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Kita melakukannya semata-mata untuk melaksanakan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta`ala dan Rosul-Nya bukan untuk menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam bersabda mengenai hajar Aswad,
وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ
“Demi Alloh, Alloh akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya.”
Umar bin Al-Khoththob Rodiyallohu anhu ketika mencium Hajar Aswad, beliau mengatakan, ‘Memang aku tahu bahwa engkau hanyalah batu, tidak dapat mendatangkan manfaat atau bahaya. Jika bukan karena aku melihat Nabi Sholallohu alaihi wa sallam menciummu, aku tentu tidak akan menciummu.’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Perintah untuk mencium Hajar Aswad yang tidak lebih dari sebuah batu tersebut memberikan pesan bahwa dalam beribadah ini, kadang kita tidak mengetahui hikmah dibaliknya, atau perbuatan tersebut tidak masuk akal kita, tetapi karena itu adalah perintah Alloh Subhanahu Wa Ta`ala dan Rosul-Nya, maka kita sebagai orang yang beriman wajib mendengar dan taat tanpa mencari-cari alasan. Dalam hal ini Alloh Subhanahu Wa Ta`ala berfirman yang artinya,
“Dan tidak sepatutnya bagi orang laki-laki yang beriman dan begitu juga perempuan yang beriman, jika Alloh dan Rosul-Nya telah memutuskan suatu keputusan, akan ada pilihan lain dalam urusan tersebut. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” ( Qs Al Ahzab : 36 )
Nilai Tauhid dalam Melempar Jumroh
Melempar jumrah menunjukkan secara simbolik perlawanan dan permusuhan kita kepada setan. Setan senantiasa menyesetkan manusia kepada kekufuran dan kemusyrikan sehingga manusia tidak lagi mentauhidkan Alloh Subhanahu Wa Ta`ala. Karena itulah, Alloh Subhanahu Wa Ta`ala memerintahkan kita untuk menjadikan setan sebagai musuh hingga hari kiamat kelak sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)
Dari Ibnu Abbas Rodiyallohu anhu, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi Sholallohu alaihi wa sallam, “Ketika Ibrahim kekasih Alloh melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumroh ’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumroh yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.” Ibnu Abbas Rodiyallohu anhu kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumroh) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)