yashiruna.official@gmail.com

Menebar Sunnah Menuai Berkah

Salah satu ibadah yang disunnahkan oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya n di bulan Syawal ini adalah puasa sunnah selama enam hari. 

Berpuasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan, karena puasa ini menyempurnakan puasa Romadhon yang telah dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al-Anshoriy Rodiyallohu anhu,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

 “Barang siapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Dari Tsauban Rodiyallohu anhu, bahwa beliau sholallohu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كاَنَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah Hari Raya Idul Fithri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya.”  (HR. Ibnu Majah, An-Nasa’i dan selainnya  dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil, 4/107)

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka jumhur (mayoritas) ulama berpendapat disunnahkan puasa enam hari di bulan Syawal, baik bagi laki-laki maupun wanita. 

Al-Imam An-Nawawi Rohimallohu ta’ala mengatakan ketika menjelaskan hadits pertama di atas,

 فِيْهِ دَلَالَةٌ صَرِيْحَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَمُوَافَقِيْهِمْ فِي اسْتِحْبَابِ صَوْمِ هَذِهِ السِّتَّةِ

“Di dalam hadits ini terdapat dalil yang tegas bagi madzhab Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud, beserta para ulama yang sependapat dengannya tentang dianjurkannya puasa enam hari (di bulan Syawal).”  (Syarh Shohih Muslim 8/56)

Adapun sebagian ulama lainnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat dimakruhkannya puasa tersebut.

Imam Ibnu Nujaim Al-Mashri Rohimallohu ta’ala menyatakan,

 وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ كَرَاهَتُهُ مُتَتَابِعًا لَا مُتَفَرِّقًا لَكِنَّ عَامَّةَ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا

“Dari Imam Abu Yusuf: makruh (berpuasa enam hari di bulan Syawal) jika  berturut-turut, dan jika dipisah tidak apa-apa. Tetapi mayoritas Hanafiyah generasi berikutnya berpendapat tidak apa-apa.” (Bahrur Roiq, 6/133. Mawqi’ Al-Islam)

Imam Ibnu Abdil Barr Rohimallohu ta’ala mengatakan,

 وَذَكَرَ مَالِكٌ فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ أَنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُوْمُهَا

“Imam Malik menyebutkan tentang puasa enam hari Syawal, bahwa beliau belum pernah melihat seorang pun dari kalangan ulama dan ahli fiqih yang melakukan puasa itu.” (Al-Istidzkar Al-Jami’ Li Madzahib Fuqoha Al-Amshor, 3/379)

Ibnu Abdil Barr t memberikan udzur pada beliau dengan mengatakan, “Mungkin hadits tersebut (tentang sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawal) belum sampai pada beliau.” (Subulus Salam: 4/156-157)

Dari perbedaan pendapat ini bisa kita simpulkan sebagai berikut:

1. Puasa enam hari bulan Syawal adalah sunnah menurut jumhur (mayoritas) ulama.

2. Ada yang memakruhkan, yaitu Imam Abu Hanifah, baik dilakukan secara berturut-turut enam hari atau dipisah-pisah. Sedangkan muridnya Imam Abu Yusuf, memakruhkan jika berturut-turut, dan tidak apa-apa jika dipisah. Pengikut Imam Abu Hanifah generasi berikutnya membolehkan, baik berturut-turut atau tidak, dan itu adalah pendapat pilihan, bahkan mereka mengatakan mustahab jika dilakukan setelah hari raya.

3. Pendapat Imam Malik yang memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawal, dengan alasan ditakutkan hal itu dianggap bagian dari puasa Romadhan dan  beliau belum pernah melihat satu pun ulama yang melakukannya.

Pendapat yang kuat –Insya Alloh- adalah pandangan mayoritas ulama, yakni sunnah berdasarkan hadits-hadits shohih yang telah disebutkan diatas.

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Ibnu Rojab Rohimallohu ta’ala menyebutkan faedah yang akan didapatkan jika seseorang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal,

Pertama: Dengan menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, berarti akan mendapatkan keutamaan seperti puasa selama setahun penuh. 

Kedua: Puasa Syawal dan Sya’ban, keberadaannya seperti sholat sunnah Rowatib sebelum dan sesudah sholat fardhu, yang manfaatnya adalah sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam sholat fardhu.

Ketiga: Puasa Syawal setelah Romadhon itu merupakan tanda bahwa Alloh Subhanahu wa ta’ala menerima puasa Romadhonnya, sebab apabila Alloh menerima amal seorang hamba, maka Dia akan memberi taufiq kepada hamba tersebut untuk melakukan amalan sholih setelahnya.

Keempat: Puasa Syawal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal sholih, karena amal sholih tidaklah terputus dengan selesainya Romadhon, tetapi akan terus berlangsung selagi hamba tersebut masih hidup. (Latho’iful Ma’arif (hal. 393-396) karya Al-Hafidz Ibnu Rojab t)

Al-Imam As-Shon’ani Rohimallohu ta’ala menjelaskan, “Sesungguhnya diserupakan ibadah puasa tersebut dengan puasa Ad-Dahr (setahun penuh), karena satu kebaikan (yang kita lakukan) akan dilipat gandakan (balasannya) sepuluh kali lipat. Maka satu bulan Romadhon dilipatkan sepuluh kali lipat menjadi sepuluh bulan, sedangkan enam hari (dilipatkan sepuluh kalinya akan menjadi enam puluh hari) sama dengan dua bulan (sehingga sepuluh ditambah dua bulan sama dengan dua belas bulan atau sama dengan setahun).” (Subulus Salam, 4/157)

Haruskah Puasa Enam Hari tersebut Dilakukan Berturut-turut?

Jawabannya, tidak harus berturut-turut dalam melakukannya, tidak pula mesti dilakukan di awal bulan Syawal. Siapa saja yang menunaikan puasa tersebut  secara terpisah-pisah  atau dilakukan di akhir bulan, maka puasanya tersebut sah selama berjumlah enam hari di bulan Syawal. Demikian inilah yang ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyyah, Hanabilah dan yang selain mereka. Namun yang lebih afdhol (utama) adalah dilakukan segera setelah 1 Syawal dan dikerjakan secara berturut-turut.

Al-Imam An-Nawawi Rohimallohu ta’ala mengatakan, “Disunnahkan melakukan puasa Syawal, lebih afdhol dilakukan berturut-turut.” (Minhaj Ath-Tholibin 1: 440)

Imam Ar-Romli Rohimallohu ta’ala mengatakan, “Mengerjakan puasa Syawal berturut-turut sehari setelah Idul Fithri lebih afdhol dikarenakan:

Pertama: lebih segera dalam melakukan ibadah,

Kedua: supaya tidak bertemu dengan halangan yang membuat sulit untuk berpuasa.” (Nihayah Al-Muhtaj, 3: 315)

Mana Dulu; Puasa Syawal Dahulu atau Puasa Qodho?

Orang yang akan menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, apakah diharuskan menyempurnakan puasa Romadhonnya lebih dulu, yakni dengan membayar hutang puasa Romadhonnya, ataukah boleh langsung berpuasa Syawal meskipun masih punya hutang puasa Romadhon?

Boleh bagi seseorang mendahulukan puasa Syawal dibanding Qodho Romadhon, apalagi dengan pertimbangan mengqodho Romadhon memiliki luang waktu yang luas sampai sebelum Romadhon tahun depan, sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sebagaimana dijelaskan sebagian ulama. Demikian ini jika bicara boleh atau tidaknya.

Tetapi, mana yang lebih utama di antara keduanya?

Secara logika mudahnya tentu puasa Qodho lebih utama ditunaikan, sebab puasa Qodho hukumnya wajib, sedangkan puasa Syawal adalah sunnah, tentunya yang wajib mesti didahulukan dibanding yang sunah. Lalu, jika wafat dalam keadaan belum menjalankan yang wajib tentu akan menjadi hutang. Sedangkan hal itu tidak terjadi pada ibadah sunah, yang jika ditinggalkan dia tidak berdosa, tidak berhutang, namun juga tidak mendapatkan pahala.

Atas dasar inilah, maka mulailah dengan mengqodho puasa Romadhon terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa sunnah enam hari. Wallohu A’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *