Sholat yang lima waktu diperintahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada malam Isro’ dan Mi’roj Nabi Muhammad Sholallohu alaihi wa sallam. Ibnu Katsir Rohimallohu Ta’ala berkata,
فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةُ الْإِسْرَاءِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَنَةٍ وَنِصْفٍ، فَرَضَ اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، وَفَصَّلَ شُرُوْطَهَا وَأَرْكَانَهَا وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا بَعْدَ ذلِكَ ، شَيْئًا فَشَيْئًا
“Pada malam Isro’’ Mi’roj, tepatnya satu setengah tahun sebelum hijrah, Alloh mewajibkan sholat lima waktu kepada Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam. Kemudian secara berangsur, Alloh terangkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, serta hal-hal yang berkaitan dengan sholat.” (Tafsir Ibnu Katsir 7/164)
Sebagai seorang muslim, seyogyanya kita menjaga sholat-sholat kita, baik niat, waktu, tempat maupun kaifiyatnya.
Sholat amal pertama yang dihisab
Amalan yang pertama kali dihisab di hari kiamat nanti adalah sholat, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam, dari Abu Huroiroh Rodiyallohu anhu berkata, Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam bersabda,
إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإنْ صَلُحَتْ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ، وَإنْ فَسَدَتْ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُ عَزَّ وَجَلَّ: اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah sholatnya. Maka, jika sholatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika sholatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari sholat wajibnya, maka Alloh ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki sholat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari sholat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” “Perkara yang pertama kali dihisab adalah sholat. Sedangkan yang diputuskan pertama kali di antara manusia adalah (yang berkaitan dengan) darah.” (HR Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Diriwayatkan pada hadits yang bersumber dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Rodiyallohu anhu, Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam bersabda,
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ، وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah sholatnya. Dan perkara yang pertama kali di adili diantara manusia adalah masalah darah.” (HR An-Nasa’i no. 3991. Dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani)
Kekhawatiran seorang mu’min
Seorang mu’min mengkhawatirkan amalan yang dilakukannya tidak diterima Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Di surat Al-Mu’minun ayat 60 disebutkan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS Al Mu’minun: 60)
Mendengar ayat ini, ‘Aisyah mengatakan,
يَا رَسُولَ اللهِ) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ
“Wahai Rosululloh! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi Shallallohu’alaihi wasallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang sholat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR Tirmidzi dan Ahmad. Dishohihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).
Seseorang yang khawatir, sholatnya tidak diterima, maka ia akan terus berupaya memperbaiki sholatnya.
Pencuri Sholat
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
“Manusia paling buruk pencuriannya adalah orang yang mencuri dari sholat”. Mereka (para sahabat) berkata, “Bagaimana ia mencuri sholatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya”, atau beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud.” (HR Ahmad dalam Al-Musnad (5/310). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 885)
Sholat yang tidak diterima
Banyak riwayat yang menyebutkan tentang sholat-sholat yang tidak diterima. Riwayat-riwayat ini memotivasi setiap kita untuk membenahi niat dan memperbaiki kaifiyat sholat sesuai tuntunan Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam. Penulis mencantumkan beberapa riwayat berkenaan dengan sholat yang tidak diterima,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ، وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ
“Sesungguhnya ada seseorang yang sholat selama 60 tahun, namun tidak diterima (oleh Alloh) amalan sholatnya selama itu walau satu sholatpun. Boleh jadi (sebabnya) dia sempurnakan ruku’-nya tetapi sujudnya kurang sempurna, demikian pula sebaliknya.” (Hadis Hasan, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Abu Huroiroh, Shohih al-Targhib, no. 596)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ رَأَى رَجُلا لا يُتِمَّ رُكُوعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ يُصَلِّي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ
“Bahwa Nabi Muhammad Shallallohu’alaihi wasallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan mematuk di dalam sujudnya, ketika dia sedang sholat, maka Beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang ini mati dalam keadaannya seperti itu, dia benar-benar mati tidak di atas agama Muhammad n.“ (HR Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 7184, Thabrani dalam Al Kabir no. 3840, dihasankan oleh Albani dalam Shifat Sholat hal. 131)
Bahwa Hudzaifah bin al-Yamân melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika dia sudah menyelesaikan sholatnya, Hudzaifah berkata kepadanya:
مَا صَلَّيْتَ قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ: لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وفي رواية : وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا
“Engkau belum mengerjakan sholat”. Perawi berkata, ‘Dan aku mengira Hudzaifah berkata kepadanya, “Jika engkau mati (padahal sholatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas sunnah Muhammad ShallAllohu ‘alaihi wa sallam ”. Di dalam satu riwayat, “Jika engkau mati (padahal sholatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas fithrah yang Allâh jadikan Muhammad ShallAllohu ‘alaihi wa sallam di atas fathrah tersebut”. (HR Bukhari no. 791)
Dari Ibnu Abbas dari Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam, beliau bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ
“Tiga golongan yang sholatnya tidak akan di angkat meski satu jengkal dari kepalanya; seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya, seorang perempuan yang bermalam sementara suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bermusuhan.” (HR Ibnu Majah no. 961)
Makna: “orang yang mengimami suatu kaum dalam keadaan mereka tidak suka kepadanya” maksudnya adalah ketidak-sukaan karena alasan agama, misalnya imamnya adalah orang yang fasik, atau sebenarnya tidak layak jadi imam. Imam Al-Munawi mengatakan, “Imam ini sholatnya batal karena dia tercela secara syariat, misalnya karena kefasikan atau bid’ah, atau terlalu menggampangkan masalah najis, atau meninggalkan salah satu rukun dan wajib sholat…” (Faidhul Qadir, 3:324).
Akan tetapi jika ada imam yang baik, agamanya bagus, menjalankan sunah, namun ada sebagian orang yang tidak menyukainya karena alasan yang tidak dibenarkan, misalnya karena perbedaan pendapat, maka ketidak-sukaan ini tidak menyebabkan batalnya sholat imam. Sebagaimana keterangan Ibnu Qudamah, “Jika imam agamanya bagus, mengikuti sunah, kemudian ada jamaah yang tidak suka karena prinsip agamanya itu maka dia tidak dimakruhkan untuk menjadi imam.” (Al-Mughni, 2:32)
Perbaiki sholatmu
Dari Abu Huroiroh,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Bahwa Rosululloh Shallallohu’alaihi wasallam masuk ke masjid, kemudian ada seorang laki-laki masuk Masjid lalu sholat. Kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallohu’alaihi wasallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya, “Kembalilah dan ulangi sholatmu karena kamu belum sholat!” Maka orang itu mengulangi sholatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi. Lalu datang menghadap kepada Nabi Shallallohu’alaihi wasallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi sholatmu karena kamu belum sholat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata, “Demi Dzat yang mengutus anda dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkkanlah aku!” Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk sholat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al-Qur’an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh sholat (rakaat)mu”. (HR Bukhari (793), Muslim (397)