Para pembaca yang dirahmati Alloh Subhanahu wa Ta’ala, pada kali ini akan melanjutkan kajian tafsir dalam surat Al-Fatihah pada ayat keempat dan kelima.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مَالِكِ يِوْمِ الدِّيْنِ
“Yang menguasai hari pembalasan.”
Makna kata Al-Maalik (الْمَالِكُ) dengan bacaan panjang pada huruf mim adalah Sang Pemilik Kerajaan yang bebas mengatur sesuai dengan kehendakNya. Al-Malik (الْمَلِكُ) dengan bacaan pendek pada huruf mim adalah Sang Penguasa yang dapat memerintah dan melarang, yang Maha memberi dan menolak tanpa ada yang mampu turut campur atau melawan-Nya. Kata Ad-diin (الدِّيْنُ) berarti pembalasan dan perhitungan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
“Di hari itu, Alloh akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya.“ (QS. An-Nur: 25)
Dalam sebuah hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وعَمِلَ لِماَ بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang cerdik adalah orang yang bermuhasabah diri dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Ibnu Majah)
Yaumid din (يَوْمِ الدِّيْنِ) adalah hari pembalasan, yaitu hari kiamat ketika Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas seluruh perbuatan masing-masing hamba.
Para ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad-Din dari ayat diatas adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti. Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Alloh.” (Al-Infithor: 17-19)
Pengkhususan kekuasaan pada hari Pembalasan tidaklah menafikan kekuasaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas kerajaan lainnya (kerajaan di dunia). Karena telah disampaikan pada ayat sebelumnya bahwa Dia adalah Robb semesta alam. Dan kekuasaan-Nya itu umum, baik di dunia maupun di akhirat. Disandarkannya kata Al-Maalik kepada kalimat yaumiddin (hari pembalasan), karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku-aku sesuatu dan tidak juga dapat berbicara kecuali dengan izin Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا
“Pada hari, ketika ruh dan Para Malaikat berdiri bershof-shof, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (QS. An-Naba: 38)
Perhatikanlah bagaimana ayat mencakup poin-poin dibawah ini:
1- Pembuktian hari kiamat.
2- Balasan atas amalan setiap hamba -baik yang baik maupun yang buruk.
3- Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagai tuhan semesta alam menyendirikan diri-Nya dalam pengadilan pada hari kiamat.
4- Keadilah hukum yang ditetapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengatakan الدِّيْنِ يَوْمِ dan bukan مَالِكِ الدِّيْنِ adalah karena memberitahu kita bahwa hari kiamat telah ditentukan untuknya hari yang spesial dibanding hari-hari yang lain, yaitu pada hari ketika semua pelaku perbuatan menemui amalan dan hasilnya. (Li Yaddabbaru Ayatih, Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil)
Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin Rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Lafadz Iyyaka إِيَّاكَ “Hanya kepada Engkau” Kedudukannya (dalam ilmu nahwu) sebagai maf’ul bih yang diawalkan, Amilnya adalah na’budu نَعْبُدُ ”Kami menyembah.” Tujuan dikedepankan dari amilnya untuk menghasilkan pembatasan makna, maka dari itu maknanya adalah: Kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau. Maf’ul bih di sini dalam bentuk terpisah dengan ‘amilnya karena tidak memungkinkan untuk disambung dengannya.
Lafadz Na’budu نَعْبُدُ “Kami menyembah.” Maknanya adalah kami tunduk kepada-Mu dengan ketundukan yang sempurna. Oleh karena itu, engkau akan mendapati orang-orang yang beriman meletakkan anggota badan yang paling mulia (yakni kepala) di tempat yang setara dengan kaki sebagai bentuk ketundukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sujud di atas tanah, bahkan jidat pun menyapu debu, semua itu dilakukan atas dasar ketundukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadah juga mencakup segala perbuatan yang diperintah oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan meninggalkan segala larangan-Nya karena orang yang belum melaksanakan itu semua maka ia tidak disebut orang yang menyembah, jika ia tidak melakukan perkara yang diperintahkan maka ia belum dikatakan hamba sejati dan jika belum meninggalkan segala larangan ia juga belum dikatakan hamba sejati. Hamba yang sejati adalah yang sesuai dengan keinginan syar’i yang ditentukan oleh Alloh (yang ia sembah). Karena ibadah mengharuskan seorang insan menegakkan setiap yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan semua yang dilarang kepadanya, dan semua itu tidak mungkin dapat terlaksana kecuali tanpa bantuan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala, oleh karenanya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Maknanya adalah kami tidak akan memohon pertolongan kecuali hanya kepada Engkau dalam melaksanakan ibadah dan kegiatan lainnya. Sedangkan Al-Isti’anah artinya adalah meminta pertolongan, dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan antara ibadah dan isti’anah atau dengan tawakkal pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, karena ibadah yang sempurna tidak akan terlaksana kecuali dengan pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bersandar, dan bertawakkal kepada-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma)
Faedah dari Ayat ini adalah:
1. Adab dalam berdoa, ketika seseorang akan berdoa hendaklah memulai dengan memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala, menyanjung-Nya, dan mengagungkan-Nya. Kemudian ditambah dengan mengucap sholawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu baru meminta apa yang dibutuhkan. Hal itu lebih dekat untuk terkabulnya doa.
2. Jangan menyembah selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan jangan meminta pertolongan dalam hal yang hanya mampu dilakukan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada selain-Nya.
3. Pemurnian ibadah hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, ini sesuai firman-Nya yang artinya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah.” (QS. Al-Fatihah: 4) Ditunjukkan dengan didahulukannya ma’mul (Iyyaka) dari Amilnya (na’abudu).
4. Pemurnian isti’anah (permintaan pertolongan) hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, ini berdasarkan firman-Nya yang artinya, “Dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
5. Seorang hamba butuh memohon pertolongan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam mengerjakan perintah dan menghindari segala larangan dan sabar atas taqdir yang ditetapkan atasnya, baik ketika ia didunia dan ketika kematian menghampirinya serta apa yang akan terjadi padanya di alam barzakh dan ketika kiamat itu terjadi, dan tidak siapapun yang mampu memberinya pertolongan atas itu semua kecuali Alloh Subhanahu wa Ta’ala, maka barang siapa yang dapat merealisasikan perkara isti’anah ini hanya kepada-Nya, niscaya Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya.
6. Hati manusia dihadapkan dengan dua jenis penyakit yang berbahaya, jika ia tidak mampu mencegah keduanya maka penyakit itu akan menghantarkannya kepada kebinasaan yang pasti, yaitu: riya’ dan sombong, dan penawar yang terbaik untuk riya’ adalah dengan إيَّاكَ نَعْبُدُ, sedangkan penawar untuk kesombongan adalah dengan وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.
Bersambung In Syaa Alloh. . .