yashiruna.official@gmail.com

Menebar Sunnah Menuai Berkah

Secara ringkas, surat Al-Ma’un ini berisi tentang anjuran serta dorongan untuk memberi makan anak yatim dan orang miskin, menjaga dan memelihara sholat, menunaikannya dengan ikhlas dan juga dengan amal-amal lainnya. Begitu juga dorongan untuk mengerjakan kebajikan, memberikan benda-benda, misalnya meminjamkan bejana, gayung, kitab, dan lainnya, karena Alloh Subhanahu wa ta’ala mencela orang yang tidak melakukan hal itu.

Para pembaca yang dirahmati Alloh Subhanahu wa ta’ala. Sebagian dari surat ini telah dijelaskan pada edisi sebelumnya, dan inilah pembahasan selanjutnya:

Tafsir Ayat 4 – 5

Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Kata ويل adalah kata untuk mengancam, kata ini sering terulang dalam Al-Quran. Makna ayat ini adalah, ancaman berat atas mereka “(yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya,”

Golongan ketiga yang termasuk para pendusta agama adalah orang-orang yang memandang remeh perkara sholat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap kewajiban sholat. Maka, celaka dan binasalah bagi orang-orang yang sholat namun memiliki sifat-sifat yang tercela tersebut. Diantaranya adalah menunda-nunda pelaksanaan sholat dengan sengaja hingga mengerjakannya diluar waktunya, bermalas-malasan serta tidak memenuhi ketentuan-ketentuannya, seperti; menyempurnakan ruku’nya, sujudnya, berdirinya, dan duduknya. Mereka juga tidak membaca bacaan dzikir, do’a maupun Al-Quran dengan menghadirkan hatinya secara khusyu’.

Orang yang lalai dalam sholatnya, berbeda dengan orang yang lupa pada saat sholat, karena siapa saja bisa lupa, termasuk Nabi Shalallohu alaihi wa sallam sendiri. Sedangkan, melalaikan sholat membuat pelakunya berhak mendapatkan celaan dan hinaan bahkan mereka diancam dengan neraka. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا ٱلشَّهَوَٰتِ، فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”

Tafsir Ayat 6

Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ

“Orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 6)

Golongan keempat yang termasuk para pendusta agama adalah pelaku riya’. Selain mereka lalai dalam sholatnya, mereka juga berbuat riya’, baik dalam sholatnya maupun dalam amalan sholeh lainnya. Riya’ adalah mengerjakan amalan ketaatan tanpa disertai keikhlasan. Tujuan mereka ketika beribadah, bukan untuk bertaqarrub kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan keridhaan-Nya, melainkan untuk mendapatkan pujian, penilaian baik dari orang lain dan mendapatkan perhatian manusia supaya memiliki kedudukan di masyarakat.

Riya’ merupakan salah satu ciri tanda orang munafik. Alloh Subhanahu wa ta’ala menjelaskan ciri-ciri sholatnya orang munafik: pertama, sholat dalam keadaan malas. Kedua, melakukannya dengan riya`, ketiga, tidak mengingat Alloh Subhanahu wa ta’ala kecuali hanya sedikit sekali. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Alloh, dan Alloh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Alloh kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang riya’ cenderung malas-malasan dalam beribadah ketika sendirian, rajin saat ditengah banyak orang, serta amalnya meningkat saat dipuji dan menurun saat dicaci.

Seseorang yang dihinggapi dalam dirinya penyakit riya’, seringkali mempertimbangkan bagaimana orang lain memberi tanggapan. Amalan tersebut dikerjakan bukan atas dasar ketulusan, melainkan terdapat campuran keinginan mendapat citra positif dan sanjungan di mata manusia. Karenanya, Rosululloh Shalallohu alaihi wa sallam menyebut riya’ sebagai syirik kecil, karena pelakunya menyekutukan Alloh Subhanahu wa ta’ala dengan nafsunya atau respon orang lain. Dari Mahmud bin Labid, Rosululloh Shalallohu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ

“Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.”

Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rosululloh?”

Beliau Shalallohu alaihi wa sallam bersabda, 

الرِّيَاءُ يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“(Syirik ashgor adalah) riya’. Alloh Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka, ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?’ (HR. Ahmad)

Tafsir Ayat 7

Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman,

 وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ

“dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Ma’un: 7)

Golongan kelima yang termasuk para pendusta agama adalah orang-orang yang tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya yang diperlukan orang lain; apalagi memberikannya.

Ibnu Katsir Rahimahulloh berkata,

وَقَوْلُهُ: {وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ} أَيْ: لَا أَحْسَنُوا عِبَادَةَ رَبِّهِمْ، وَلَا أَحْسَنُوا إِلَى خَلْقِهِ حَتَّى وَلَا بِإِعَارَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ وَيُسْتَعَانُ بِهِ، مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ وَرُجُوعِهِ إِلَيْهِمْ. فَهَؤُلَاءِ لِمَنْعِ الزَّكَاةِ وَأَنْوَاعِ القُرُبات أُولَى وَأُولَى

Yang dimaksud dengan “dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” Yakni mereka tidak menyembah Robb mereka dengan baik dan tidak pula mau berbuat baik dengan sesama makhluk-Nya, hingga tidak pula memperkenankan dipinjam sesuatunya yang bermanfaat dan tidak mau menolong orang lain dengannya, padahal barangnya masih utuh; setelah selesai, dikembalikan lagi kepada mereka. Dan orang-orang yang bersifat demikian benar-benar lebih menolak untuk menunaikan zakat dan berbagai macam amal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir)

Hal ini mengindikasikan buruknya akhlak mereka kepada orang lain. Dengan begitu, lengkaplah keburukan mereka. Selain tidak beribadah kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala dengan sempurna, mereka juga tidak berbuat baik kepada manusia. Padahal, dengan menyadari bahwa apa yang mereka miliki hanyalah titipan dari Alloh Subhanahu wa ta’ala semata, semestinya hal tersebut membuat mereka menjadi makhluk yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan saling berbagi.  Bahkan, Rosululloh Shalallohu alihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barang siapa yang melapangkan kesusahan seorang Mukmin di dunia, maka Alloh Subhanahu wa ta’ala akan melapangkan dia dari kesusahannya di hari Kiamat. Barang siapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Alloh Subhanahu wa ta’ala akan memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Semoga Alloh Subhanahu wa ta’ala memberikan taufiq kepada kita kepada apa yang terdapat kebaikan dan perbaikan di dalamnya di dunia dan akhirat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *