Fiqih Ringkas Qurban (Bagian 02)
Pembaca Buletin YASHIRUNA yang semoga dirohmati oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Pada edisi kali ini, kita akan membahas lanjutan dari pembahasan Ringkasan Fiqih Qurban pada edisi yang lalu. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan dalam beramal sholeh.
Waktu dan Tempat Penyembelihan
Penyembelihan hewan qurban dilakukan sejak hari ‘ied (10 Dzulhijjah) selesai sholat ‘Iedul Adha ditambah 3 hari setelahnya yang disebut sebagai Hari Tasyriq. Jadi rentang waktu pemotongan qurban adalah 4 hari. Dibolehkan pemotongan di malam hari, namun yang lebih utama tentu saja disiang hari.
Tata Cara Penyembelihan
Tata cara menyembelih hewan ada dua:
Pertama: Nahr, yaitu menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini adalah cara menyembelih hewan unta. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu bagian dari syiar Alloh, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Alloh ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah darinya…” (QS. Al-Hajj: 36)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir)
Kedua: Dzabh, yaitu menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini merupakan cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dan lain sebagainya.
Beberapa Adab yang Perlu Diperhatikan ketika Menyembelih:
1. Shohibul qurban menyembelih sendiri, jika dia mampu
Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul qurban disyariatkan untuk ikut menyaksikan.
2. Gunakan pisau yang setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik
Ini berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إنَّ اللهَ كَتَبَ الإحْسانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Alloh mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim)
3. Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih
Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, “Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat
5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri
6. Menginjakkan kaki di leher hewan
Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengatakan, “Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
7. Membaca basmalah
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allohu akbar) setelah membaca basmalah
9. Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan diqurbankannya herwan tersebut
10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan qurban
11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong
12. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati
Pembagian Hasil Sembelihan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran,
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“…Kemudian apabila (unta-unta) telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri daging itu untuk orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan 3 pilihan untuk penyaluran hewan qurban, yaitu:
1. Dimakan sendiri
2. Diberikan kepada orang yang tidak mampu sebagai sedekah
3. Diberikan kepada orang yang mampu sebagai hadiah
Diperbolehkan juga bagi orang yang berqurban untk meyimpan daging qurbannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ
“Barang siapa yang menyembelih hewan qurban, janganlah dia menyisakan sedikitpun dagingnya di dalam rumahnya setelah hari (Tasyriq) yang ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah).”
Ketika tiba hari raya qurban tahun berikutnya, mereka (para sahabat) bertanya; “Wahai Rosululloh, apakah kami melakukan sebagaimana tahun lalu?” Beliau menjawab,
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
“(Tidak), untuk sekarang, silahkan kalian makan, berikan kepada yang lain, dan silahkan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan).” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Hukum Menjual Daging Qurban
Orang yang berqurban tidak boleh menjual apapun dari hasil qurbannya. Karena orang yang berqurban, dia telah menyerahkan semua hewannya dalam rangka beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan komersial yang keuntungannya kembali kepada dirinya. Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
“Siapa yang menjual kulit qurbannya maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Al-Kubro dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albani Rahimahullah)
Begitu juga orang yang berqurban tidak boleh memberi upah kepada tukang jagal dengan kulit hewan qurban atau bagian tertentu dari hewan qurban. Hal ini telah dilarang oleh Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah diriwayatkan Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا، وَلاَ يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan dia untuk mengurusi onta (qurban) nya dan (memerintahkan) untuk membagi seluruh (bagian) ontanya, baik dagingnya, kulitnya dan pakaiannnya. Dan (beliau juga memerintahkan kepada Ali) untuk tidak memberi upah penyembelihan darinya (maksudnya: dari bagian hewan qurban) sedikitpun.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Dari hadits tersebut, Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shohih Muslim, 4: 453)
Kulit tersebut tidak boleh dijual, namun boleh diberikan kepada orang yang menyembelih dan mengurusi hewan qurban sampai selesai dan siap dibagikan, setelah upah dia diberikan secara penuh dari sumber lain. Misalnya upahnya lima puluh ribu diambilkan dari uang pribadi. Setelah itu, panitia memberikan kulit qurban kepadanya bukan sebagai upah, akan tetapi sebagai sedekah atau hadiah atau sebagai pemberian biasa. Kemudian setelah itu, dia menjual kulit tersebut. Maka ini perkara yang diperbolehkan.
Syeikh Sholih Al-Fauzan berkata bahwa hadits ini menunjukkan, “Bolehnya mengupah orang lain untuk menyembelih qurban asalkan upahnya tidak diambil dari hasil sembelihan qurban. Tidak boleh memberi tukang jagal sedikit pun dari daging qurban. Karena kalau memberi dari hasil qurban pada tukang jagal, itu sama saja menjual bagian qurban.” (Minhatul ‘Allam, 9: 299)
Kemudian beliau mengatakan, “Namun jika hasil qurban diberikan kepada tukang jagal karena statusnya yang miskin, atau sebagai status hadiah (jika dia orang kayat), maka tidaklah mengapa. Ia berhak untuk mengambil jatah tersebut karena posisinya sama dengan yang lain, bahkan ia lebih pantas karena dia yang mengurus langsung proses penyembelihan sehingga hatinya ingin ikut mendapatkannya. Akan tetapi lebih tepat, jika upah kerjanya sebagai jagal dibayarkan utuh terlebih dahulu, baru diberi hasil qurban (dengan status sedekah jika dia miskin atau hadiah jika dia kaya). Upah jagal itu lebih baik diberikan secara utuh terlebih sebelum diberi bagian dari hasil hewan qurban dengan pertimbangan supaya upah sebagai jagal tidak dikurangi dengan alasan sudah diberi jatah dari hewan qurban. Pertimbangan dan alasan semacam ini menyebabkan status bagian dari hewan qurban yang diberikan kepada jagal tersebut adalah upah kerjanya sebagai jagal (padahal menjadikan daging hewan qurban untuk upah jagal adalah tindakan terlarang).” (Minhatul ‘Allam, 9: 299)
Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘Anhu menceritakan,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkanku untuk menangani onta kurbannya, mennyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Ada suatu keadaan lain dimana kulit hewan qurban atau bagian yang lain (kepala atau kaki) boleh untuk dijual, yaitu ketika kulit hewan qurban tersebut sudah pindah kepemilikan kepada pihak lain. Dengan kata lain, sudah dibagikan dan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya. Baik dalam bentuk hadiah, sedekah, atau pemberian. Jika sudah diberikan, maka pihak yang diberi berhak melakukan apapun terhadap kulit qurban tersebut termasuk menjualnya.